Sub

Thursday, June 16, 2016

Icaros Syndrome – Paradoks Kejatuhan Karena Pengabaian Tata Nilai

Kisah manusia terbang dalam mitologi Yunani ini bercerita tentang Daedalus, seorang insinyur hebat di Athena yang bekerja untuk raja Minos 2 di Kreta, di Knossos istananya yang luar biasa. Saat bekerja untuk raja Minos 2, Daedalus diceritakan membantu perselingkuhan Pasiphae (istri raja Minos 2) dengan Sapi jantan gagah hadiah dari Poseidon (raja laut) yang seharusnya dijadikan untuk kurban tapi diganti dengan sapi lain oleh raja Minos 2.

Dalam kisah perselingkuhann ini, Daedalus menciptakan sebuah patung kayu yang bolong bagian tengahnya, yang digunakan oleh Pasiphae untuk jalan keluar ke padang rumput tempat sapi jantan hadiah Poseidon merumput. Kisah perselingkuhan Pasiphae dengan sapi Jantan hadiah Poseidon ini menyebabkan Pasiphae hamil dan kemudian melahirkan Minotour, monster setengah manusia dan setengah sapi. Ketika Minotour lahir, Daedalus membuat labirin untuk mengurung monster ini. Bertahun-tahun raja Minos 2 meminta warga Kreta untuk menyediakan seorang gadis untuk memberi makan Minotour. Hal ini berakhir ketika seorang pahlawan bernama Theseus datang ke Kreta dan membunuh Minotour.

Ariadne, anak Minos 2 dan Pasiphae jatuh cinta pada Theseus dan meminta Daedalus membantu mengeluarkan Theseus dari labirin. Daedalus setuju dan memberikan peta jalan keluar pada Theseus untuk keluar dari labirin dan kemudian melarikan diri dari Kreta bersama Ariadne. Raja Minos 2 yang kehilangan anaknya tanpa mengetahui Minotour telah dibunuh marah besar dan ketika mengetahui Daedalus terlibat dalam hal ini, Minos 2 pun memerintahkan untuk mengurung Daedalus dan anaknya Icaros dalam labirin. Karena Labirin adalah buatan Daedalus sendiri, dia dengan mudah bisa menemukan jalan keluar dan berencana melarikan diri dari kereta. Tapi karena darat dan laut telah diawasi dengan ketat oleh pasukan Minos 2, sehingga satu-satunya jalan melarikan diri adalah lewat udara.

Di sinilah kisah tentang manusia terbang yang sangat terkenal itu bermula. Mengenai hal
ini, dikisahkan Daedalus yang insinyur ini membuat sayap untuk Icaros anaknya dan dirinya sendiri. Caranya dia mengumpulkan bulu sayap burung kemudian merekatkannya dengan menggunakan lilin. Setelah sayap ini jadi dan mereka bisa terbang, Daedalus memperingatkan anaknya agar tidak terbang terlalu tinggi karena akan membuatnya terlalu dekat dengan matahari sehingga panasnya akan melelehkan lilin yang merekatkan sayapnya. Sebaliknya Daedalus juga mengingatkan Icaros untuk tidak terbang terlalu dekat dengan laut supaya uap air laut tidak membasahi sayapnya dan membuatnya menjadi berat untuk dikepakkan. Mereka berdua berhasil terbang dari Kreta, namun Icaros kesenangan dengan pengalaman terbang pertama yang dia dapatkan menjadi terlalu gembira dan kurang hati-hati. Icaros mengabaikan peringatan sang ayah, dan tetap terbang mendekati matahari Icaros terbang terlalu tinggi dekat ke Matahari sehingga lilin yang melekatkan sayap-sayap milik Icaros meleleh dan diapun terjerembab jatuh dan tenggelam di laut. Laut tempatnya jatuh itu sampai sekarang dinamakan Laut Icaros (Icarian Sea).

Dalam kisah itu diceritakan Hercules yang yang kebetulan lewat menemukan mayat Icaros dan menguburkannya. Daedalus yang terpukul melihat kematian anaknya, tetap melanjutkan terbang ke Sisilia dan tinggal di daerah Cocalus dan menetap di sebuah tempat bernama Camicus.

Fenomena dalam mitologi Icaros adalah rangkaian cerita yang sarat nilai-nilai moral. Dalam “duet”-nya dengan sang ayah (Daedalus), mereka adalah simbolisasi komunitas yang secara batin sinergis satu sama lain, punya kohesi yang kuat, namun miskin pengetahuan. Ini dilambangkan dengan kesalahan mereka mengidentifikasi sebuah masalah, dalam hal ini adalah “bagaimana kita bisa terbang?”.  Kesalahan identifikasi itu menghasilkan kesimpulan yang salah, yang berdampak pada pengambilan tindakan yang salah pula: membuat sayap. Peringatan Daedalus pada anaknya untuk tidak terbang terlalu dekat dengan matahari adalah representasi sebuah prevensi berupa nasehat, masukan, saran atau apapun namanya yang pada gilirannya tidak dilaksanakan oleh Icaros.

Keinginan Icaros untuk mendekati matahari adalah simbolisasi ambisi, yang tidak didukung dengan pengetahuan serta nalar yang memadai (dalam hal ini pengetahuan untuk memahami karakter lilin yang akan meleleh bila terpapar panas).  Kejatuhan Icaros (secara harfiah), adalah perlambang sebuah akibat atau hasil (outcome) dari serangkaian proses yang sejak awal telah dibuka dengan “kesalahan”.

Fenomena Icaros Dalam Perspektif Realis
Bagi sebagian orang, mitos tetaplah mitos. Di sekeliling kitapun banyak mitos-mitos dalam berbagai legenda.  Namun, patut untuk dipahami bahwa realisme cerita tak lebih dari sekedar bingkai, dan lebih baik untuk mencoba melihat nilai-nilai apa yang terpagari oleh bingkai itu.  Demikian pula terhadap mitologi Icaros, yang dalam pandangan saya tak hanya sarat pesan moral, namun juga merupakan fenomena yang justru sedang booming di sekeliling kita akhir-akhir ini.

“Icaros” dapat dipandang sebagai suatu individu, namun lebih tepat bila kita pandang sebagai sebuah entitas. Kohesi “Icaros-Daedalus” dapat dipandang sebagai kohesi antar individu dalam satu kelompok/komunitas, dapat juga dilihat sebagai mutual interface antar komunitas.  Perspektif itu menjadi tidak penting lagi saat kita melihat sejumlah norma serta tata nilai yang terkandung jauh di dalam entitas-entitas itu:
1. Keinginan/cita-cita, yang adalah sebuah kewajaran bagi siapapun yang hidup. Itu adalah karunia, karena keinginan akan sesuatu itulah awal dari setiap usaha.

2. Ambisi, yang merupakan keinginan/hasrat yang berkembang dan menjadi obsesi dalam hidup setiap mahkluk, yang bila tak terkendali justru merupakan awal dari kejatuhan.

3. Usaha, yang merupakan norma wajib bagi siapapun yang berharap keinginan/ambisinya tercapai.

4. Pengetahuan/kecerdasan, yang selayaknya menjadi penopang bagi siapapun yang berusaha menggapai keinginannya.

5. Nasehat, yang berisi serangkaian pesan baik bagi kepentingan pemenuhan keinginan, penunjang perjuangan, serta pelindung dari kejatuhan yang tidak diharapkan.

Semua dalam tata nilai itu adalah norma yang melekat dalam kehidupan kita, nilai-nilai yang sangat manusiawi, dan siapapun berhak serta bisa memilikinya.  Pada intinya, kita semua hidup dalam semua tatanan itu.  Persoalannya justru terletak pada bagaimana nilai-nilai itu “di-struktur-kan” dalam hidup setiap individu, dikelola oleh sebuah kelompok/komunitas, serta bagaimana nilai-nilai itu dipadupadankan satu sama lain.

Keinginan, ambisi, usaha, pengetahuan, dan nasehat seperti apapun baiknya tak akan berguna bagi siapapun bila mereka berdiri sendiri-sendiri, dan tidak terbingkai serta terintegrasi secara sinergis. Keinginan akan tetap menjadi keinginan bila anda tak berusaha. Usaha apapun akan sia-sia bila anda tak punya pengetahuan yang cukup. Pengetahuan yang diagung-agungkan secara berlebihan justru akan membuat kita abai terhadap nasehat, dan seterusnya. Di sinilah setiap manusia harus mengingat bahwa alam semesta sendiri sejatinya adalah sebuah sinergi, yang memadukan berbagai unsur secara proporsional, dan bergerak dengan derap yang sama.  Adalah naif bagi siapapun yang mengatakan bahwa teorema alam semesta berbeda dengan mekanisme hidup individu. Bukankah kita adalah bagian kecil dari semesta raya ini?

Tentu saja, siapapun berharap Icaros hanya hadir dalam mitologi Yunani itu.  Sayangnya, saat ini kita justru hidup berkelilingkan banyak “Icaros”, dan bisa jadi kitalah salah satu “Icaros” itu.  Kita menyaksikan orang-orang yang terkubur oleh ambisinya sendiri, jatuh karena minimnya pengetahuan/kecerdasan, gagal karena tidak berusaha cukup kuat, tujuan-tujuan yang tidak tercapai karena kesalahan identifikasi masalah, dan negara yang terhantam krisis/resesi ekonomi karena penghamburan anggaran yang tidak tepat. Inilah akibat masif dari sebuah sindrom: “Sindrom Icaros” (Icaros Syndrome), yang dapat kita lihat di berbagai strata komunitas.

Sindrom Icaros Pada Sebuah Negara
Sindrom ini dapat mendera sebuah negara, yang ditandai dengan “ambisi” yang tertuang dalam program-program pembangunan yang besar, namun tidak memiliki pengetahuan yang memadai untuk mewujudkannya.  Negara-negara ini membangun infrastruktur, namun tidak membangun pengetahuan bagi warga negaranya berupa “pengetahuan akan dirinya sendiri”.  Pengetahuan ini adalah pengetahuan yang akan menyadarkan setiap individu tentang jati diri mereka, dan karakter khas bangsa mereka. Negara-negara ini membungkus “kemakmuran” dalam kemasan pertumbuhan ekonomi makro, deretan gedung pencakar langit di kota-kotanya, jalanan beraspal beserta ribuan mobil yang memenuhinya tiap hari, dan sebagainya.

Negara-negara ini—layaknya Icaros—lupa pada nasehat bijak nenek moyang bahwa tiang-tiang yang menjadi tumpuan keberlangsungan mereka adalah generasi mudanya. Akibatnya, negara-negara inipun lupa pada inti pembangunan yang paling utama, yakni membangun generasi muda. Negara-negara ini merasa sudah “membangun pendidikan” dengan cara mendirikan ribuan sekolah, tapi tak acuh pada materi pendidikannya. Mereka juga lupa bahwa dari dunia pendidikan itulah sebagian besar karakter komunitas itu akan terbentuk: apakah mereka kelak akan menjadi nasionalis, patriotis, sosialis, liberalis, kapitalis, materialis, atau bahkan komunis.

Negara-negara ini merasa telah berhasil membangun ekonominya karena ada peningkatan Gross Domestic Product (GDP), tapi lupa bahwa pelaku ekonomi terbesar pada dasarnya adalah masyarakat, bukan para pengusaha atau penanam modal. Pertumbuhan ekonomi tingkat makro yang tak menyentuh sendi-sendi ekonomi masyarakat selaku pelaku ekonomi terbesar hanya akan menyuburkan pengangguran, kriminalitas, dan berbagai ekses sosial lainnya. Negara-negara ini merasa berhasil membangun sistem politiknya dengan banyaknya partai-partai politik yang berdiri, namun abai membangun budaya politik dalam dunia pendidikannya.  Akibatnya, sistem politik hanya menjadi tunggangan kepentingan-kepentingan pragmatis, dan wahana untuk memenuhi ambisi pribadi-pribadi tertentu, entah itu kedudukan atau materi. Sistem politik—yang seharusnya merupakan “etalase” kemajuan peradaban sebuah kelompok masyarakat—justru menjadi ruang yang dipandang dengan skeptis, acuh tak acuh, dan sikap apatisme masyarakatnya.

Negara-negara yang terserang virus Sindrom Icaros akut membanggakan ketertiban nasionalnya dengan banyaknya peraturan dan undang-undang.  Namun karena negara-negara ini tidak cukup paham dan berpengetahuan dalam membangun karakter penegak hukumnya, sederetan buku peraturan perundang-undangan itu justru menjadi “sampah”, dan dimanfaatkan sebagai ajang pemenuhan kepentingan. Negara-negara ini merasa telah menunaikan kewajibannya setelah membuat peraturan, tapi lupa menumbuhkan kesadaran masyarakatnya bahwa mereka membutuhkan sebuah tatanan yang tertib, solid, dan gagal menjamin bahwa siapapun berkedudukan sama di muka hukum.  Ya, karena negara-negara ini lupa pada sebuah nasehat bijak yang lain bahwa “A disorder country is a country in which there are many laws”.

Sindrom Icaros Pada Institusi/Lembaga
Sebuah institusi, lembaga, organisasi, atau apapun namanya juga sangat rentan terserang virus Sindrom Icaros ini. Mereka adalah lembaga-lembaga yang menggebu-gebu “membangun” dirinya, namun sekali lagi, tak punya cukup pengetahuan untuk memelihara kesinambungan pencapaian tujuannya. Mereka bangga pada wujud struktur yang besar, namun abai pada efektifitas fungsi, dan lupa pada efisiensi sumber daya. Mereka sibuk mengembangkan diri, memekarkan organisasi, dengan dalih pencapaian tujuan.

Lembaga-lembaga ini membanggakan kebesaran mereka dengan infrastruktur kantor yang megah, perangkat sumber daya manusia (SDM) yang melimpah, serta profil organigram yang menjulang dan lebar. Mereka bangga karena cabang atau perwakilan mereka ada di mana-mana, dengan segala perangkat pendukungnya. Mereka lupa bahwa institusi/organisasi adalah bentuk pelembagaan sebuah sistem, dan yang terpenting dari sebuah sistem adalah bagaimana ia mampu merubah suatu masukan (input) menjadi sebuah keluaran (output) yang lebih berdayaguna daripada sebelumnya. Jadi ibarat mesin, yang terpenting bukan dimensi fisik mesinnya, melainkan efektifitas elemen-elemen di dalamnya dalam mengolah masukan-masukan itu.

Virus Icaros pada lembaga-lembaga ini pada akhirnya hanya menghasilkan lembaga-lembaga yang lebih bersifat “cost driver” ketimbang “profit maker”.  Bila mereka lembaga pemerintah yang dibiayai dengan anggaran negara, maka mereka adalah penyedot keuangan negara. Bila mereka lembaga swasta atau independen, maka mereka berpotensi untuk jatuh prematur karena kebangkrutan. Sekali lagi, inilah buah ambisi yang tidak didukung dengan pengetahuan yang memadai, atau, inilah buah dari kegagalan membangun “pengetahuan akan diri sendiri”, yang menghasilkan “konseptor” manajemen pragmatis yang lebih mementingkan pemenuhan ambisinya sendiri ketimbang membangun lembaga dan atau negaranya.

Mencegah Infeksi “Virus Icaros”
Kini saatnya kita melihat koneksitas dari serangkaian nilai-nilai di atas, sebagai upaya awal untuk menghindari infeksi virus Icaros ini.  Sekali lagi, adalah wajar untuk memiliki keinginan, cita-cita, atau ambisi. Namun tanpa pengetahuan yang cukup, semua itu justru akan membawa siapapun pada kejatuhannya sendiri. Pengetahuan itu sendiri adalah sebuah entitas maha luas, sangat infinitum, dan tak akan habis hingga akhir hayat. Itulah sebabnya semesta memberi kita pelajaran tentang “simbiosis”, sebuah sinergi satu sama lain. Di hadapan pengetahuan, tak ada seorangpun yang lebih pintar dari orang lain, tak seorangpun lebih superior dari sekelilingnya.  Di sinilah semua orang patut untuk mendengar nasehat dari siapapun, selama itu bersifat konstruktif.  Pengabaian terhadap nasehat-nasehat baik sama halnya dengan pengabaian terhadap tata nilai itu sendiri, dan juga perintisan jalan menuju jurang kegagalan.

Usaha yang baik selalu diawali dengan perencanaan yang baik. Perencanaan yang baik hanya dapat diwujudkan dengan identifikasi yang tepat atas sebuah masalah. Untuk itu semua orang harus belajar, menghimpun pengetahuan sebanyak-banyaknya, serta mendengarkan masukan-masukan demi pemahaman yang lebih baik atas suatu persoalan. Pemahaman masalah yang komprehensif itulah yang akan membuat identifikasi masalah kita menjadi tepat (right to the bull’s eye). Dengan identifikasi masalah yang tepat, siapapun dapat merencanakan usaha atau langkah-langkah secara tepat, dan pada gilirannya menyelesaikan masalah secara mantik, tanpa harus membuat masalah-masalah atau ekses-ekses baru.

Ini sama halnya dengan penanganan sebuah penyakit dalam dunia medis. Seseorang yang mengalami panas badan tinggi, belum dapat diketahui apakah dia menderita demam biasa, typus, demam berdarah, atau malaria. Harus ada orang yang memiliki pengetahuan yang cukup untuk mengidentifikasi gejala itu, dalam hal ini dokter. Seorang dokter yang arif tidak akan mendasarkan diagnosanya semata-mata karena pengalaman (bentuk pengagungan terhadap pengetahuan yang berlebihan). Akan lebih baik bila ia mencari “nasehat”, dalam hal ini masukan dari laboratorium untuk melakukan pemeriksaan darah si pasien. Dari hasil laboratorium inilah si dokter akan memiliki pengetahuan komprehensif tentang penyakit pasiennya, dan ia akan mampu mengidentifikasi dalam bentuk diagnosa yang tepat. Dengan diagnosa yang tepat, ia dapat mengambil langkah yang tepat pula: memberi resep yang sesuai, memutuskan apakah pasien dirawat inap atau tidak, dan sebagainya.


Siapapun wajib membangun dirinya, dan siapapun punya hak dan kewajiban yang sama untuk membangun kelompok/komunitasnya, institusinya, dan negaranya. Ketika hak-hak individu dikekang, dan kewajiban pada individu dibebankan secara tidak proporsional, maka kita telah menepikan pengetahuan serta mengabaikan nasehat. Di situlah virus Icaros telah menginfeksi kita, dan hanya soal waktu kapan kita jatuh terhempas dan tenggelam.

Diinspirasi dari Buku “The Icarus Syndrome: A History of American Hubris”, karya Paul Beinart, terbitan Harper 2010.

Baca juga: Fenomena Manusia Baru - Indigo



1 comment:

Indah Ayu said...

mitos yang baik untuk dipelajari