1. Gangguan Identitas Gender
A. Transseksualisme
• Adanya hasrat untuk hidup dan diterima sebagai anggota dari kelompok lawan jenisnya, biasanya disertai perasaan risih, atau ketidakserasian dengan anatomi seksualnya.
• Adanya keinginan untuk mendapatkan terapi hormonal dan pembedahan untuk membuat tubuhnya semirip mungkin dengan jenis kelamin yang diinginkan.
• Kelainan ini sudah dapat terprediksi mulai usia kanak-kanak, seperti kesukaannya bermain dengan lawan jenisnya sehingga sifat lawan jenisnya ada pada dirinya.
• Sulit untuk mengidentifikasi penderita ini apakah mereka mempunyai orientasi homoseksual atau heteroseksual.
B. Transvestisme Peran Ganda
• Mengenakan pakaian dari lawan jenisnya sebagai bahan dari eksistensi dirinya untuk
”menikmati” sejenak pengalaman sebagai anggota lawan jenisnya.
”menikmati” sejenak pengalaman sebagai anggota lawan jenisnya.
• Tanpa hasrat untuk mengubah jenis kelamin secara lebih permanen atau berkaitan dengan tindakan bedah.
• Tidak ada perangsangan seksual yang menyertai pemakaian pakaian lawan jenis tersebut, hal inilah yang membedakan gangguan ini dengan transvestisme fetishistik (lihat bagian pertama sebagai perbandingan).
C. Gangguan Identitas Jenis Kelamin Masa Kanak
• Keinginan anak yang ”mendalam” (pervasive) dan ”menetap” (persistent) untuk menjadi atau keteguhan bahwa dirinya adalah jenis kelamin lawan jenisnya, disertai penolakan terhadap perilaku, atribut dan atau pakaian yang sesuai untuk jenis kelaminnya. Tidak ada rangsangan seksual dari pakaian.
• Yang khas adalah bahwa manifestasi pertama timbul pada usia pra-sekolah. Gangguan ini sudah tampak sebelum pubertas.
• Ciri khas lain, anak dengan gangguan identitas jenis kelamin, menyangkal bahwa dirinya terganggu, meskipun mereka mungkin tertekan oleh konflik dengan keinginan orang tua atau kawan sebayanya dan oleh ejekan/penolakan orang-orang yang berhubungan dengan dirinya.
2. Disfungsi seksual
Disfungsi seksual meliputi berbagai gangguan dimana individu tidak mampu berperan serta dalam hubungan seksual seperti yang diharapkannya. Gangguan tersebut dapat berupa kekurangan minat (interest), kenikmatan (enjoyment), gagal dalam respons fisiologis yang dibutuhkan untuk interaksi seksual yang efektif (misalnya, ereksi), atau tidak mampu mengendalikan atau mengalami orgasme. Respon seksual adalah suatu proses psiko-somatik, dan kedua proses (psikologis dan somatik) biasanya terlibat sebagai penyebab disfungsi seksual.
A. Disfungsi seksual
• Abnormalitas pada reaksi dan respon seksual
• Sesuatu hubungan seksual dikatakan disfungsional kalau orang tersebut merasa tertekan.
• Disfungsi seksual dapat disebabkan oleh fisik dan psikis bisa juga interaksi antara keduanya.
• Disfungsi seksual dapat menjadi serius karena kecemasan dengan problemnya.
B. Gangguan keinginan seksual yang Hipoaktif
• Mempunyai perhatian yang rendah (abnormal) dalam aktifitas seksual.
• Biasanya akibat kesukaran psikologis yang lain seperti depresi, trauma seksual sebelumnya, body-image dan harga diri rendah, rasa bermusuh atau usaha hubungan kekuasaan atau sebagai usaha untuk mengatasi disfungsi seksual sebelumnya
• Tidak adanya minat terhadap fantasi seksual dan kurangnya keinginan untuk melakukan aktifitas seksual yang persisten atau rutin
• Kurangnya nafsu ini bukan lebih menjadi bagian penentu bagi gangguan lain (misalnya gangguan suasana perasaan, kecemasan, psikosomatis) dan bukan disebabkan karena efek-efek fisiologis obat atau penyalahgunaan obat.
• Seseorang yang memiliki gangguan nafsu seksual hipoaktif hanya memiliki sedikit atau sama sekali tidak memiliki minat terhadap semua jenis aktivitas seksual.
C. Gangguan aversi seksual
• Ketidaksenangan yang aktif dan berulang terhadap hubungan kelamin atau aktivitas seksual yang lain.
• Orang ini merasa sedih dan merasa lonely dan menolak hubungan dekat.
• Individu mempunyai perhatian terhadap seks dan senang berfantasi tentang seks, tetapi menolak hubungan seksual.
• Dalam gangguan nafsu seksual hipoaktif terdapat gangguan aversi seksual, dimana bahkan sekedar memikirkan tentang seks atau sentuhan kecil yang dilakukan secara sambil lalu dapat memicu ketakutan, panik atau perasaan muak
• Pada beberapa kasus, masalah pokoknya mungkin gangguan panik, dimana ketakutan atau respons alarm dihubungkan dengan sensasi fisik seks.
• Masters, dkk (1982) penyebabnya:
1. Sikap orang tua yang sangat negatif pada seks.
2. Mengalami pengalaman traumatis misal diperkosa.
3. Mengalami tekanan dari partnernya.
4. Kekacauan identitas pada laki-laki.
D. Gangguan pembangkitan seksual wanita
• Wanita tidak dapat memberi respon exicitement seksual, atau rasa senang saat akan berhubungan seksual
• Hubungan seksual menjadi keadaan yang tidak mengenakkan.
• Gangguan pembangkitan seksual menunjukkan terhambatnya atau berkurangnya reaksi seksual terhadap rangsangan seksual yang diterima. Manifestasi gangguan pembangkitan seksual dapat berupa tiadanya atau terhambatnya perlendiran vagina, tiadanya ereksi klitoris, dan tidak terjadinya reaksi pada labia. Gangguan bangkitan seksual mengakibatkan dispareunia dan disfungsi orgasme.
E. Gangguan ereksi laki-laki
• Tidak dapat ereksi (total/sebagian) selama hubungan seksual, kurang adanya exicitement dan kegembiraan seksual Impotensi
• Karena kesulitan ini susah dan malu menghindari hubungan seksual.
• Disfungsi ereksi primer : Tidak pernah merasakan ereksi.
• Disfungsi ereksi sekunder yang mengembangkan problem setelah periode berfungsi normal.
• Istilah lain untuk gangguan ereksi yang lebih dikenal adalah impotensi. Penisnya sulit atau bahkan tidak bisa ereksi sama sekali meskipun hasrat seksualnya menggelegak. Gejala ini sangat banyak terjadi dan paling ditakuti kaum laki-laki. Disinyalir, pada umur 50-an sekitar 30% laki-laki mengalami gangguan impotensi.
F. Gangguan orgasme wanita
• Tidak dapat mencapai orgasme.
• Disebut juga orgasme yang terhambat atau anorgasmia
• Ada yang terus menerus ada yang situasional,
• Dapat mencapai orgasme melalui stimulasi diri, atau dengan partner namun dengan cara lain.
G. Gangguan orgasme pada laki-laki
• Disebut juga dengan orgasme yang terhambat.
• Seperti pada wanita.
• Menyebabkan tekanan.
• Adanya kesukaran interpersonal dalam hubungan.
• Mengalami tahap kegairahan dan getaran normal saat melakukan seks, tapi tak bisa mencapai orgasme, meski telah berkali-kali distimulasi.
• Gangguan orgasme pada pria dapat disebabkan oleh banyak faktor. Dari masalah psikologi, stress, perasaan gugup dan perasaan alamiah lainnya. Tapi gangguan ini pun bisa akibat konsumsi obat-obatan, seperti antidepresan. Bisa juga merupakan efek samping setelah melakukan operasi
H. Ejakulasi prematur
• Terjadi orgasme lama sebelum dikehendaki tidak menimbulkan kepuasan
• Ketidakmampuan mengendalikan ejakulasi sedemikian rupa
I. Gangguan rasa sakit seksual
• Merasa sakit selama hubungan kelamin didiagnosis dispareunia atau vaginismus.
• Dispareunia pada laki-laki dan perempuan : sakit sebelum, pada waktu dan setelah hubungan.
• Vagismus perempuan : kekejangan pada otot luar vagina.
• Penderita vaginismus mengalami kontraksi yang tidak disadari pada otot vagina bagian bawah (1/3 bagian bawah dan sekitarnya) yang menghalangi masuknya penis ke dalam vagina. Hal tersebut terjadi jika perempuan secara tak sadar ingin mencegah penetrasi penis. Mungkin karena khawatir hamil atau mengalami ketakutan lain.
• Dispareunia. Ini adalah istilah untuk orang yang mengalami rasa nyeri pada kelamin atau di dalam panggul saat melakukan hubungan seksual. Perempuan maupun laki-laki bisa mengalaminya. Namun perempuan lebih umum menjadi penderita. Biasanya dispareunia disebabkan karena penyakit, namun bisa juga karena luka, lecet, kurangnya perlendiran saat akan berhubungan seksual, penurunan hormon atau karena gangguan fisik lain.
J. Dorongan Seksual Yang Berlebihan
Baik pria maupun wanita dapat kadang-kadang mengeluh dorongan seksual berlebihan sebagai problem dalam dirinya. Biasanya pada remaja akhir belasan tahun atau dewasa muda. Atau biasa disebut dengan hipersex.
3. Gangguan Psikologis dan Perilaku yang Berhubungan dengan Perkembangan dan Orientasi Seksual
A. Gangguan Maturitas Seksual
Individu menderita karena ketidakpastian tentang identitas jenis kelaminnya atau orientasi seksualnya, yang menimbulkan kecemasan atau depresi.
Paling sering terjadi pada remaja yang tidak tahu pasti apakah mereka homoseksual, heteroseksual atau biseksual dalam orientasi seksualnya. Atau pada individu yang sesudah periode orientasi seksual yang tampak stabil, seringkali dalam jalinan hubungan yang telah berlangsung lama, menemukan bahwa orientasi seksualnya berubah.
B. Orientasi Seksual Egodistonik
Identitas jenis kelamin atau preverensi seksual tidak diragukan, tetapi individu mengharapkan yang lain disebabkan oleh gangguan psikologis dan perilaku, serta mencari pengobatan untuk mengubahnya.
C. Gangguan Jalinan Seksual
Kelainan dalam identitas jenis kelamin atau preverensi seksual merupakan penyebab kesulitan dalam membentuk atau memelihara jalinan (relationship) dengan mitra seksual.

No comments:
Post a Comment