Sub

Thursday, February 9, 2017

Mengenal karakteristik Generasi Baby Boomers, Gen X, dan Gen Y


Pola pikir, sikap dan perilaku seperti apa yang dapat kita amati saat berhadapan dengan generasi yang lahir antara tahun 1981 – 2000 (Gen Y)? profil positif dari Gen Y dikemukakan oleh Tulgan & Martin (2001), Bannon et.al (2011), Beekman (2011) dan Cekada (2011), antara lain: kepercayaan diri tinggi, self – esteem yang kuat, berpendidikan, terbuka dan toleran, kuat dalam social network; fleksibel; kreatif; multi-tasking dan berdunia wireless.

Sebaliknya Don Tapscott (2009) menemukan sisi-sisi negatif Gen Y, antara lain: kehilangan social skill (listening-communication-independent thinking); jarang melakukan aktivitas
olahraga dan aktivitas yang terkait dengan kesehatan; minim rasa malu; “terapung-apung” karena dimanja orang tuanya; suka mem-bullying teman di media online; narsistic; short attention span.

Apapaun gambaran profilenya, memang setiap generasi akan memiliki karakteristik yang unik. Hal ini terjadi karena pengalaman yang diterima, sehingga akan membentuk pola pikir, sikap dan perilakunya (Bannon et.al, 2011). Generasi Baby Boomers memiliki profil pejuang dan pekerja keras karena ditempa oleh pengalaman dunia yang “memaksa”nya menjadi seperti itu. Misalnya yang terjadi dengan Baby Boomers di USA karena tertempa oleh pengalaman-pengalaman perang Vietnam, perjuangan Luther Martin King, heroism presiden John F Kennedy, dll (Crapton & Hodge, 2009). Demikian juga dengan Gen X yang lahir di era 1961 – 1980, karena bergumul dengan penglaman yang berbeda, maka juga memiliki pola pikir, sikap dan perilaku yang berbeda dengan Generasi Baby Boomers.

Bagaimana dengan generasi Y? generasi ini adalaah kelompok individu yang lahir antara tahun 1981 – 2000. Tentu saja pengalaman-pengalaman yang ditemui juga berbeda. MTV dan ESPN menandai lahirnya generasi ini. Disusul dengan berkembangnya teknologi informasi yang mengakselerasi perubahan yang besar. Maka profil generasi ini pun akan sangat berbeda dibandingkan dua generasi sebelumnya.

Mengapa pengalaman-pengalaman yang ditemui dan digumuli individu mampu mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku? Teori Medan dari Kurt Lewin kiranya dapat menjelaskan hal tersebut. Menurut Lewin (Sarwono, 2004) perilaku adalah fungsi dari individu dan lingkungan. Masing-masing faktor tersebut memiliki kekuatan (oleh Lewin disebut Valensi) yang dalam menentukan perilaku seseorang. Jika valensinya searah maka perilaku akan mudah terbentuk, namun jika valensinya berbeda arah (Lewin menyebut dengan valensi + dan valensi -) maka individu akan mengalami konflik.

Jika kita telaah fenomena Gen Y dengan teori Medan ini, maka kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sebagian besar Gen Y adalah anak-anak dari Gen X yang salah satu ciri menonjolnya adalah bekerja keras untuk sebuah kemapanan terutama dalam dimensi financial. Suzanne Crampton & John Hodge (2009) menyebut istilah live to work untuk Gen X. mengapa Gen X memiliki ciri ini? Karena mereka diwariskan nilai dari Baby Boomers yang sangat menekankan nilai-nilai kerja keras dan perjuangan untuk mencapai kesejahteraan hidup. Maka tidak heran jika Sang Presiden RI-pun merencanakan gerakan Ayo Kerja pada HUT Kemerdekaan tahun ini. Kabinetnya-pun diberi nama kabinet kerja.

Ciri bekerja keras inilah yang menyebabkan Gen X akhirnya banyak menghabiskan waktu dan energinya di tempat kerja. Karir tentu menjadi orientasi yang sangat penting. Dampaknya tentu saja adalah terbatasnya waktu bagi keluarga, khususnya anak-anak. Pada saat yang bersamaan, anak-anak sedang dalam masa perkembangan psikologis yang membutuhkan perhatian, pengakuan dan tentu saja kebutuhan eksistensi diri. Karena pada hakekatnya pada setiap individu memiliki kebutuhan untuk eksistensi dan pengakuan serta pertumbuhan pribadi. Dalam banyak kasus kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi oleh keluarga.

Di sisi lain, sekolah nampaknya juga tidak mampu untuk memberikan pemenuhan dan juga tidak dapat menjadi media bertumbuhnya pribadi. Hal ini karena sekolah sering terjebak pada tuntutan kurikulum yang tidak mengembangkan pribadi secara utuh, namun hanya mengejar keunggulan akademik intelektual. Sekolah semakin kering dengan sentuhan-sentuhan personalnya. Pada saat yang sama, orangtua seolah menyerahkan proses pertumbuhan pribadi anak kepada sekolah. Dengan kemapanan financial, orangtua mampu membayar mahal biaya pendidikan, namun seolah orangtua melepas tanggung jawabnya dan menggantinya dengan uang sekolah yang mahal.

Lalu kemanakah anak-anak ini memenuhi kebutuhan-kebutuhan ini? Hadirnya teknologi ternyata menjadi jawabannya. Ketika orangtua dan sekolah tidak mampu memberi ruang pertumbuhan pribadi, maka dunia maya menjadi tempat yang luar biasa bagi anak-anak (Gen Y) ini. Mereka merasa mendapat tempat yang paling pas untuk memuaskan kebutuhan eksistensi dan pengakuan ini. Maka menjadi wajar ketika semua jenis media social sesungguhnya adalah tempat untuk mengekspresikan eksistensi dan pengakuan. Jangan heran selfie akhirnya menjadi ciri khas Gen Y. interaksi sosial akhirnya berpindah media ke dunia maya ini.

Interaksi sosial melalui dunia maya tentu memiliki kelebihan dalam hal kecepatan dan tanpa batas (borderless). Tentu saja 2 hal ini menjadikan dunia maya sebagai tempat yang ideal bagi Gen Y untuk memuaskan kebutuhannya itu. Eksistensi dan pengakuan, kreativitas & inovasi, kebebasan dan otonomi; fleksibilitas semuanya dapat terakomodir di dunia maya.

Namun demikian interaksi di dunia maya memiliki keterbatasan juga. Begitu melimpahnya informasi jika tidak diimbangi dengan kearifan dalam mengolah tentu dapat berdampak negatif. Beberapa ciri dari Gen Y menurut penulis merupakan dampak dari fenomena ini. Easy going, mudah bosan, kurang loyal dan kurang memiliki komitmen, menikmati kesenangan, orientasi pada permukaan

No comments: