Pola pikir, sikap dan perilaku seperti apa yang dapat kita
amati saat berhadapan dengan generasi yang lahir antara tahun 1981 – 2000 (Gen
Y)? profil positif dari Gen Y dikemukakan oleh Tulgan & Martin (2001),
Bannon et.al (2011), Beekman (2011) dan Cekada (2011), antara lain: kepercayaan
diri tinggi, self – esteem yang kuat, berpendidikan, terbuka dan toleran, kuat
dalam social network; fleksibel; kreatif; multi-tasking dan berdunia wireless.
Sebaliknya Don Tapscott (2009) menemukan sisi-sisi negatif
Gen Y, antara lain: kehilangan social skill
(listening-communication-independent thinking); jarang melakukan aktivitas
olahraga dan aktivitas yang terkait dengan kesehatan; minim rasa malu;
“terapung-apung” karena dimanja orang tuanya; suka mem-bullying teman di media
online; narsistic; short attention span.
Apapaun gambaran profilenya, memang setiap generasi akan
memiliki karakteristik yang unik. Hal ini terjadi karena pengalaman yang
diterima, sehingga akan membentuk pola pikir, sikap dan perilakunya (Bannon
et.al, 2011). Generasi Baby Boomers memiliki profil pejuang dan pekerja keras
karena ditempa oleh pengalaman dunia yang “memaksa”nya menjadi seperti itu.
Misalnya yang terjadi dengan Baby Boomers di USA karena tertempa oleh pengalaman-pengalaman
perang Vietnam, perjuangan Luther Martin King, heroism presiden John F Kennedy,
dll (Crapton & Hodge, 2009). Demikian juga dengan Gen X yang lahir di era
1961 – 1980, karena bergumul dengan penglaman yang berbeda, maka juga memiliki
pola pikir, sikap dan perilaku yang berbeda dengan Generasi Baby Boomers.
Bagaimana dengan generasi Y? generasi ini adalaah kelompok
individu yang lahir antara tahun 1981 – 2000. Tentu saja pengalaman-pengalaman
yang ditemui juga berbeda. MTV dan ESPN menandai lahirnya generasi ini. Disusul
dengan berkembangnya teknologi informasi yang mengakselerasi perubahan yang
besar. Maka profil generasi ini pun akan sangat berbeda dibandingkan dua
generasi sebelumnya.
Mengapa pengalaman-pengalaman yang ditemui dan digumuli
individu mampu mempengaruhi pola pikir, sikap dan perilaku? Teori Medan dari
Kurt Lewin kiranya dapat menjelaskan hal tersebut. Menurut Lewin (Sarwono,
2004) perilaku adalah fungsi dari individu dan lingkungan. Masing-masing faktor
tersebut memiliki kekuatan (oleh Lewin disebut Valensi) yang dalam menentukan
perilaku seseorang. Jika valensinya searah maka perilaku akan mudah terbentuk,
namun jika valensinya berbeda arah (Lewin menyebut dengan valensi + dan valensi
-) maka individu akan mengalami konflik.
Jika kita telaah fenomena Gen Y dengan teori Medan ini, maka
kurang lebih dapat dijelaskan sebagai berikut:
Sebagian besar Gen Y adalah anak-anak dari Gen X yang salah
satu ciri menonjolnya adalah bekerja keras untuk sebuah kemapanan terutama
dalam dimensi financial. Suzanne Crampton & John Hodge (2009) menyebut
istilah live to work untuk Gen X.
mengapa Gen X memiliki ciri ini? Karena mereka diwariskan nilai dari Baby
Boomers yang sangat menekankan nilai-nilai kerja keras dan perjuangan untuk
mencapai kesejahteraan hidup. Maka tidak heran jika Sang Presiden RI-pun
merencanakan gerakan Ayo Kerja pada HUT Kemerdekaan tahun ini. Kabinetnya-pun
diberi nama kabinet kerja.
Ciri bekerja keras inilah yang menyebabkan Gen X akhirnya
banyak menghabiskan waktu dan energinya di tempat kerja. Karir tentu menjadi
orientasi yang sangat penting. Dampaknya tentu saja adalah terbatasnya waktu
bagi keluarga, khususnya anak-anak. Pada saat yang bersamaan, anak-anak sedang
dalam masa perkembangan psikologis yang membutuhkan perhatian, pengakuan dan
tentu saja kebutuhan eksistensi diri. Karena pada hakekatnya pada setiap
individu memiliki kebutuhan untuk eksistensi dan pengakuan serta pertumbuhan
pribadi. Dalam banyak kasus kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi oleh
keluarga.
Di sisi lain, sekolah nampaknya juga tidak mampu untuk
memberikan pemenuhan dan juga tidak dapat menjadi media bertumbuhnya pribadi.
Hal ini karena sekolah sering terjebak pada tuntutan kurikulum yang tidak
mengembangkan pribadi secara utuh, namun hanya mengejar keunggulan akademik intelektual.
Sekolah semakin kering dengan sentuhan-sentuhan personalnya. Pada saat yang
sama, orangtua seolah menyerahkan proses pertumbuhan pribadi anak kepada
sekolah. Dengan kemapanan financial, orangtua mampu membayar mahal biaya
pendidikan, namun seolah orangtua melepas tanggung jawabnya dan menggantinya
dengan uang sekolah yang mahal.
Lalu kemanakah anak-anak ini memenuhi kebutuhan-kebutuhan
ini? Hadirnya teknologi ternyata menjadi jawabannya. Ketika orangtua dan
sekolah tidak mampu memberi ruang pertumbuhan pribadi, maka dunia maya menjadi
tempat yang luar biasa bagi anak-anak (Gen Y) ini. Mereka merasa mendapat
tempat yang paling pas untuk memuaskan kebutuhan eksistensi dan pengakuan ini.
Maka menjadi wajar ketika semua jenis media social sesungguhnya adalah tempat
untuk mengekspresikan eksistensi dan pengakuan. Jangan heran selfie akhirnya menjadi ciri khas Gen Y.
interaksi sosial akhirnya berpindah media ke dunia maya ini.
Interaksi sosial melalui dunia maya tentu memiliki kelebihan
dalam hal kecepatan dan tanpa batas (borderless).
Tentu saja 2 hal ini menjadikan dunia maya sebagai tempat yang ideal bagi Gen Y
untuk memuaskan kebutuhannya itu. Eksistensi dan pengakuan, kreativitas &
inovasi, kebebasan dan otonomi; fleksibilitas semuanya dapat terakomodir di
dunia maya.
Namun demikian interaksi di dunia maya memiliki
keterbatasan juga. Begitu melimpahnya informasi jika tidak diimbangi dengan
kearifan dalam mengolah tentu dapat berdampak negatif. Beberapa ciri dari Gen Y
menurut penulis merupakan dampak dari fenomena ini. Easy going, mudah bosan,
kurang loyal dan kurang memiliki komitmen, menikmati kesenangan, orientasi pada
permukaan

No comments:
Post a Comment