TERORISME adalah paham dengan keinginan untuk melakukan serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tata cara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontra-terorisme dikatakan merujuk kepada
para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau
tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga
mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak
berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para
pelakunya ("teroris") layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan
"teroris" dan "terorisme", para teroris
umumnya menyebut
diri mereka sebagai separatis,
pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain.
Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : "Makna sebenarnya dari jihad,
mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil
padahal tidak terlibat dalam perang". Padahal Terorisme sendiri sering
tampak dengan mengatasnamakan agama.
Terorisme di dunia bukanlah
merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York,
Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September
Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak
menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik
perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika
Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan
ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan
ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu
mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror,
terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat
sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut
Dana Yatim-Piatu Twin Towers,
diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189
orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat
keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa
penyerangan yang dilakukan ke World Trade
Center merupakan penyerangan terhadap "Simbol Amerika". Namun,
gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang
melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430
perusahaan dari 28 negara. Jadi,
sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia. Amerika
Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan
tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang mempengaruhi kebijakan politik
seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk
memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut
telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional. Terlebih lagi dengan
diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan
tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia, yaitu menewaskan
184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang
dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa.
Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001,
diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan
perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill.
Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa
ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau
suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan
lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan
sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta
menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan
memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror.
Terorisme tidak ditujukan langsung
kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan
terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh
pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang
khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan
abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme,
dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European
Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna
Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai
suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan
Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah
masyarakat sipil. Crimes against Humanity
masuk kategori Gross Violation of Human
Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang
meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara
langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak
bersalah, sebagaimana terjadi di Bali.
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan,
pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai,
target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga
semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif
biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat
manusia. Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se , tergolong kejahatan terhadap hati nurani, menjadi
sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang,
melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong
in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur
demikian oleh Undang-Undang.
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak
Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai
akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya
mengusut tuntas Tindak Pidana. Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor
intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama
dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum
yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih
didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas
Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang
pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun
2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8
tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus.
Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang
bersifat khusus, dapat tercipta.
Telah banyak negara-negara
didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang
Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya
dalam keadaan apapun. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak
negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru
dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses
interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat. Hal
seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus
diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus
dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa
memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme,
tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia.
Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan
sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga
bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan.
Baca juga: PSIKOPAT dan KRIMINALITAS
Baca juga: PSIKOPAT dan KRIMINALITAS

No comments:
Post a Comment